Selasa, 08 Maret 2016

The Power of “Surrender to God”


Saya punya kebiasaan menghayal disaat tengah melakukan atau memikirkan apapun, dimanapun dan kapanpun, sama seperti saat suatu malam ketika saya sedang membaca buku Operations Management, mata saya tiba-tiba berhenti pada satu paragraf, memperhatikan paragraf tersebut dengan lama, mulai berfikir, sampai kemudian pikiran saya menerawang entah kemana. Saya kurang tahu pasti dengan penting atau tidaknya, bahkan untung ruginya memiliki kebiasaan melamun, tapi yang jelas, salah satu dampak dari kebiasaan melamun saya adalah lahirlah berbagai tulisan dan ulasan, salah satunya adalah tulisan ini.

Awal mulanya adalah saya memikirkan tentang betapa banyaknya keharusan yang wajib saya penuhi dalam pendidikan S2 yang tengah dijalani saat ini, dimana investasi untuk membaca, mengerjakan tugas dan belajar secara mandiri sangat menguras waktu, pikiran serta tenaga. Memikirkan semua kesempurnaan terhadap pengetahuan yang dituntut oleh dosen kadang bisa membuat saya menjadi down secara tiba-tiba. Tentunya ini bukanlah pengalaman pertama kali menjadi mahasiswa, karena saya menjalani rutinitas yang sama saat menempuh pendidikan S1. Tapi kenapa saat ini prosesnya menjadi lebih sulit ?. Lamunan saya kemudian menjadi lebih dalam karena semua hal tentang perjuangan dan suka duka pada saat mulai mengikuti tes masuk, melewati kelas Matrikulasi satu semester, dan sampai pada titik saat ini yaitu minggu ke 4 di semester satu kelas Reguler, teringat jelas dan diputar kembali tahap demi tahap dalam pikiran saya. Ternyata saya bisa. Saya bisa sampai pada tahap ini sekalipun kemarin saya berkata sulit, tidak sanggup, dan mustahil. Keberanian untuk menghadapi dan semangat dalam mengerjakan semua yang menjadi tugas, adalah satu-satunya modal saya untuk bisa bersaing, bertahan dan tetap berproses dengan semua manis pahitnya berada dikelas M.Sc UGM. Sebagai pribadi yang gagal dengan kecerdasan mengatur emosi, saya akui bahwa saya sering bersungut, kesal dan sakit hati, meski entah kepada siapa, karena menganggap kesulitan adalah tekanan. Hal itulah yang kemudian membuat saya kembali merefleksikan akan keterlibatan orang-orang sekitar selama ini yang membantu saya melalui semangat, doa, serta bantuan untuk kemudahan mengikuti kuliah. Lalu, apakah itu semua sudah cukup membuat saya bisa dan akan terus bertahan untuk proses kedepan yang masih panjang dan lebih sulit? Tentu saja tidak. Saya memerlukan pribadi lain yang lebih kuat dan bisa mendampingi dengan setia. Saya memerlukan Tuhan. Saya membutuhkan pribadi-Nya sebagai satu-satunya tempat bercurhat dan berserah. 

Baru saja kemarin saya kembali mendapatkan pelajaran berharga atas pentingnya melibatkan Tuhan dalam setiap moment penting, bahkan dalam apapun yang akan dilakukan. Hari ini, saya bisa membaca buku serta belajar apapun sesuka hati, padahal minggu lalu (dan selama satu minggu itu) saya begitu stress dengan mempersiapkan jadwal belajar, serta bahan presentasi untuk mata kuliah Finance yang sulit,  juga tidak saya sukai. Hal yang paling membuat lebih tertekan adalah karakter Dosen pengampuh mata kuliah tersebut yang sangat tegas, displin, dan teliti. Setiap hari dalam satu minggu sebelum presentasi, saya hanya dihantui ketakutan, kecemasan “gimana kalau saya tidak bisa menjawab pertanyaan Dosen tersebut dan tidak bisa menjelaskan materi secara jelas?” Kurangnya pengetahuan tentang Manajemen Keuangan membuat saya tetap tidak yakin, sekalipun sudah banyak mempelajari materi presentasi. Sudah belajar sebanyak dan semampu saya, tapi tetap saja merasa ragu dan kemudian tertekan lagi, dan lagi. Sepertinya saya jahat, karena sedikit terlambat melibatkan Tuhan dalam hal ini. Saat berada ditahap “tidak tahu lagi harus mendapat semangat dan percaya diri dengan cara apa” saya kemudian menangis dan berdoa, menceritakan semua tekanan yang saya rasakan dengan tugas presentasi keuangan tersebut kepada Tuhan. Berserah, menyerahkan semua ketakutan dan tekanan yang membebani. Saya berhak atas kelegaan dalam hati meski akan menghadapi hari yang sulit. Setelah berdoa, saya benar-benar merasakan bagaimana Tuhan bekerja dengan cara yang unik dan tepat, salah satunya adalah bagaimana semua tekanan yang biasanya muncul saat berpikir hari dimana saya akan presentasi, seketika berganti dengan kelegaan dan suasana hati yang nyaman terkendali. Ya, karena satu-satunya yang ada di pikiran saya adalah “Saya sudah berdoa, saya sudah mempersilahkan Tuhan untuk melakukan bagian-Nya dan membiarkan Roh Kudus mengendalikan hati saya supaya tetap tenang. Tugas saya seterusnya adalah yakin Dia sudah terlibat dan pasti akan menolong saat presentasi.” Sampai tiba saat hari dimana harus presentasi, saya merasakan kuasa doa dan Tuhan bekerja secara ajaib. Sama sekali tidak ada ketakutan dan kecemasan. Tuhan telah mengganti semuanya dengan ketenangan, rasa bahagia dan percaya diri. Sesi presentasi berjalan dengan baik, semua pertanyaan Dosen selama sesi kuliah tersebut dapat terjawab dengan puas, Puji Tuhan. Tuhan telah mengendalikan saya dengan sempurna, dan hari yang sulit itu telah berlalu. Satu pelajaran baru lagi dalam hidup berpengalaman dengan Tuhan. 

Saat ini, saya tersenyum merefleksikan kejadian “biasa yang bisa dikendalikan Tuhan secara luarbiasa” tersebut dalam lamunan malam yang panjang. Semangat dan kemauan untuk berjuang adalah stimulant fisik untuk semangat mengikuti kuliah, mengerjakan tugas, dan belajar dengan tekun, tapi diatas semua itu, rajin berdoa dan melibatkan Tuhan adalah kekuatan utama yang akan memampukan menjalani semuanya. 

Akan ada banyak kesulitan didepan mata yang tidak terduga seberapa sulitnya, tapi yakin akan pertolongan Tuhan adalah alasan yang benar dan konsisten untuk bisa terus berjuang dan berhasil dikarir ini. Kuncinya adalah terus berserah dan mengandalkan Tuhan.


God Bless  You
 

Dian Mayastika Mochtar Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang